Jumat, 01 April 2011

Penjelasan Tentang Reported Speech (DIRECT and INDIRECT SPEECH)


Kalimat Langsung Dan Kalimat Tak Langsung

    Bilamana reported speech menyatakan kata-kata yang sebenarnya, ini disebut direct speech (kalimat langsung). Kalimat-kalimat tersebut tidak dihubungkan oleh “that” melainkan harus ditandai dengan (tanda baca) koma.
    Bilamana reported speech memberikan isi pokok kata-kata yang dipakai oleh si pembicara dan bukan kata-kata yang sebenarnya ini disebut indirect speech (kalimat tidak langsung). Dalam indirect speech kalimat-kalimat itu dihubungkan dengan kata “that”.
Bentuk waktu reporting verb tidak diubah, akan tetapi bentuk waktu reported speech harus diubah berdasarkan atas bentuk waktu reporting verb.

Dua cara perubahan bentuk waktu pada reported speech :

Peraturan I
    Kalau reporting verb itu past tense, bentuk waktu kata kerja dalam reported speech itu harus diubah ke dalam salah satu dari empat bentuk past tense.

Direct Speech – Indirect Speech

Simple present – menjadi – Simple past

He said ” The woman comes “ He said that the woman came
Dari contoh di atas dapat disimpulkan perubahan untuk bentuk waktu dari reported speech sebagai berikut :

Direct Speech
Simple present
Present continuous
Present perfect
Present perfect continuous
Simple past
Past continuous
Future
Present
Indirect Speech
Simple past
Past continuous
Past perfect
Past perfect continuous
Past perfect
Past perfect continuous
Past
Past

Kekecualian :
   Kalau reported speech berhubungan dengan kebenaran umum atau fakta yang sudah menjadi
kebiasaan, present indefinite atau simple present dalam reported speech tidak diubah ke dalam
bentuk lampau yang sesuai, melainkan tetap persis sebagaimana adannya, contoh :

Direct Speech – Indirect Speech
 He said, “The sun rises in the east” – He said that the sun rises in the east
Dalam reported speech, bila present tense diubah ke dalam past tense dengan peraturan I, kata sifat, kata kerja atau kata keterangan umumnya diubah:

Direct Speech
this = ini
these = ini
come = datang
here = di sini, ke sini
hence = dari sini
hither = ke tempat ini
ago = yang lalu
now = sekarang
today = hari ini
tomorrow = besok
yesterday = kemarin
last night = tadi malam
next week = minggu depan
thus = begini
contoh :
He said, “I will come here”.
Indirect Speech
that = itu
those = itu
go = pergi
there = di sana, ke sana
thence = dari sana
thither = ke tempat itu
before = lebih dahulu
then = pada waktu itu
that day = hari itu
next day = hari berikutnya
the previous day = sehari sebelumnya
the previous night = semalam sebelumnya
the following week = minggu berikutnya
so = begitu
He said that he would go there


Akan tetapi kalau this, here, now dan sebagainya menunjukan pada benda, tempat atau waktu ketika berbicara, maka tidak dilakukan perubahan.
Agus said, “This is my pen”. – Agus said that this was his pen
(ketika berbicara pena berada di tangan pembicara)
Peraturan II

1) Bila reported speech kalimat berita
    Dengan peraturan ini reporting verb dianggap dalam present atau future tense tertentu dan kapan saja ini terjadi, bentuk waktu dari kata kerja dalam reported speech tidak diubah sama sekali dalam mengubah direct menjadi indirect speech.
Reporting verb – Reported speech
Present tense – Any tense (bentuk waktu apapun)

Direct : She says to her friend, ” I have been writing “.
Indirect : She says to her friend that he has been writing. (tidak berubah)
Direct : She has told you, ” I am reading “.
Indirect : She has told you that he is reading. (tidak berubah)
Direct : She will say, ” You have done wrongly “.
Indirect : She will tell you that you have done wrongly. (tidak berubah)
Direct : She will say,” The boy wasn’t lazy “.
Indirect : She will tell them that the boy wasn’t lazy. (tidak berubah)

2) Bila reported speech merupakan kalimat tanya

 a) Reporting verb say atau tell diubah menjadi ask atau inquire. Dengan mengulangi kata tanya dan mengubah tenses jika pertanyaannya dimulai dengan kata tanya diberitakan.

Direct
He said to me, “Where are you going?”
He said to me, “What are you doing?”
Indirect
He asked me where I was going
He inquired of me what I was doing


b) Dengan menggunakan if atau whether sebagai penghubung antara reporting verb dan reported speech dan mengubah tenses, jika pertanyaannya dimulai dengan kata kerja diberitakan :

Direct
He said to me, “Are you going
away today?”
He asked me , “can you come along?”
Indirect
He asked me whether I was
going away that day.
He asked me if I could come along.

3) Kalimat perintah (imperative sentences)
     Bila reported speech merupakan kalimat perintah, reporting verb say atau tell harus diubah menjadi kata kerja tertentu yang menandakan :
  • · command (perintah), misalnya ordered, commanded, dsb yang berarti menyuruh, memerintahkan.
  • · precept (petunjuk, bimbingan, didikan), misalnya advised yang berarti menasehati.
  • · request (permohonan), misalnya asked yang berarti meminta, memohon.
  • · entreaty (permohonan yang sangat mendesak), misalnya begged yang berarti meminta, memohon (dengan sangat).
  • · prohibition (larangan), misalnya forbade yang berarti melarang.
Dalam perubahannya dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung, modus imperatif harus diganti dengan infinitif. Tegasnya, reported verb (kata kerja yang diberitakan atau kata kerja dalam reported speech) harus diubah menjadi infinitive with to.

a) Command :
Direct: He said to his servant, “Go away at once!”
 Indirect:He ordered his servant to go away at once

b) Precept :
Direct: She said to her son, “Study hard!”
Indirect: He advised her son to study hard

c) Request :
Direct: He said to his friend, “Please lend me your pen!”
Indirect: He asked his friend to be kind enough to lend him his pencil

d) Entreaty :
Direct: He said to his master, “Pardon me, sir”
Indirect: He begged his master to pardon him.

e) Prohibition :
Direct: She said to her daughter, “Don’t go there”
Indirect: She forbade her daughter to go there

Kalau reporting verb say atau tell diubah menjadi reported verb ask, order, command dsb (tapi jika bukan forbid), predikatnya diubah ke dalam infinitive with to yang didahului oleh not atau no + infinitive with to.
Direct: She said to her daughter, “Don’t go there”
Indirect: She asked herdaughter not to go there.

4) Kalimat seru (exclamatory sentences)
Bilamana reported speech terdiri dari kalimat seru atau kalimat optatif, reporting verb say
atau tell harus diubah menjadi kata kerja tertentu yang semacam itu seperti exclaim, cry out,
pray dsb.

a) Exclamatory sentences
Direct: He said, “Hurrah! My old friend has come”
Indirect: He exclaimed with joy that his old friend had come.

b) Optative sentences (kalimat yang menyatakan harapan, pujian, dsb)
Direct: He said, “God bless you, my dear son “
Indirect: He prayed that God would bless his dear son

 sumber:
http://grammar.web.id/penjelasan-tentang-reported-speech.html


Jumat, 25 Februari 2011

Adverbial Clause

  Adverbial Clause adalah Clause (anak kalimat) yang berfungsi sebagai Adverb, yakni menerangkan kata kerja.
Adverbial Alause biasanya di klasifikasikan berdasarkan "arti/maksud" dari Conjunction (kata penghubung yang mendahuluinya).

Jenis-jenis Adverbial Clause antara lain :

1. Clause of Time
     Clause yang menunjukan waktu. Biasanya dibuat dengan menggunakan Conjunction (kata penghubung) seperti after, before, no sooner, while, as, dll.

Contoh: 
  • Shut the door before you go out
  • You may begin when (ever) you are ready
  • While he was walking home, he saw an accident
  • By the time I arrive, Alex will have left
  • No Sooner had she entered than he gavean order

2. Clause of Place
     Clause yang menunjukan tempat. Biasanya dibuat dengan menggunakan Conjunction  seperti Where, Nowhere, anywhere, Wherever, dll.

Contoh:
  • They sat down Wherever they could find empty seats.
  • The guard stood Where he was positioned.
  • Where there is a will, there is a away.
  • Where there is poverty, there we find discontent and unrest.
  • Go Where you like.

3. Clause of Contrast (or concession)
     Clause yang menunjukan adanya perbedaan antara dua kejadian atau peristiwa yang saling berhubungan. Biasanya dibuat dengan menggunakan Conjunction (kata penghubung) seperti although, though, even though, Whereas, even if, in spite of, as the time, dll.

Contoh:
  • As the time you were sleeping, we were working hard.
  • Mary wanted to stop, whereas i wanted to go on.
  • Although it is late, we'll stay a little longer.
  • He is very friendly, even if he is a clever student.

4. Clause of Manner
      Clause yang menunjukan cara bagaimana suatu pekerjaan dilakukan atau peristiwa terjadi. Biasanya dibuat dengan menggunakan Conjunction (kata penghubung) seperti as, how, like, in that, dll.

Contoh: 
  • He did as i told him.
  • Ypu may finish it how you like.
  • They may beat us again, like they did in 1978

5. Clause of Purpose and Result
     Clause yang menunjukan hubungan maksud/tujuan dan hasil. Biasanya di buat dengan menggunakan kata penghubung seperti (in order)  that, so, in the hope that, to the end that, lest, in case, dll.

Contoh:
  • They went to the movie early (in order) to find the best seats.
  • She bought a book so (that) ahe could learn English.
  • He is saving his money so that he may take a long vacation.
  • I am working night and day in the hope that i can finish this book soon.

6. Clause of Cause and Effect
     Clause yang menunjukan hubungan sebab dan akibat. Ada beberapa pola membentuk Clause jenis ini. Perhatikan baik-baik.

Contoh:
  • Ryan run so fast that he broke the previous speed record.
  • It was so cold yesterday that i didn't want to swim.
  • The soup tastes so good that everyone will ask for more.
  • The student had behaved so badly that he was dismissed from the class.
Disamping itu, untuk mengungkapkan hubungan cause and effect (sebab dan akibat) dapat di gunakan pola lain, yaitu:

1. Menggunakan preposition (kata depan) seperti because of, due to, due to the fact that, dll. Contoh: Because of the could weather, we stayed home. (=we stayed home because of the could weather).
Due to the could weather, we stayed home. (= we stayed home due to the could weather).
Due to the fact that the weather was could, we stayed home. (= we stayed home due to the fact that the weather was could).

2. Menggunakan kata penghubung (Conjunction) seperti because, since, now, that, as, as long as, in as much as.
Contoh: 
Because he was sleepy, he want to bed.
Since he's not interested in classical music, he decided not to go to concert.
As she had nothing in particular to do, she called up a friend and asked her is she wanted to take in a movie.
In as much as the two goverment leadres could not reach an aggrement, the possibilities for peace are still remote.

3. Menggunakan transition words seperti therefore, consequently.
Contoh:
Alex failed the test because he didn't study.
Alex didn't study. Therefore, he failed the test.
Alex didn't study. Consequently, he failed the test.


Catatan:
Beberapa Adverb Clause dapat di ubah menjadi modifying Phrases dengan cara:

1.) Menghilangkan subjek dari dependent Clause dan Verb (be)
Contoh:
a.  ADVERB CLAUSE                  : While i was walking to class, i ran into and old friend.
b.  MODIFYING PHRASE           : While walking to class, i ran into and old friend.

2.) Jika dalam Adverbial Clause tidak ada (be), hilangkan subjek dan ubahlah verb dalam Adverb Clause itu menjadi bentuk-ing.
Contoh:
a.  ADVERB CLAUSE                  : Before i left work, i ate breakfast.
b.  MODIFYING PHRASE           : Before leaving for work, i ate breakfast.

Adverb Clause dapat di ubah menjadi Modifying Phrase jika subjek dari adverb clause dan subjek dari main clause sama.











 

Rabu, 12 Januari 2011

Sertifikat


Sekilas budaya Sunda



    Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.

    Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

     Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?

     Setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.

      Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.

      Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.

      Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat Sunda.

     Kalaulah upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.

      Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang", "mangga tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.

    Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta "terlalu majunya" pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.

     Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.

     Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.

   Berpijak pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda, timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh paling besar adalah karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda.

    Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di "jalan yang lurus", khususnya manakala harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi serta memiliki kemasan menarik. Berbagai unsur kebudayaan sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa urang Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?

Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap terbilang rendah.







contoh baju adat, rumah adat dan tarian sunda